Kamis, 25 Juni 2015

peradilan agama

BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang
Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang. dalam eksistensinya peradilan agama mempunyai kewenangan untuk perkara tertentu bagi orang islam , salah satu perkara yang akan dibahas oleh penulis adalah perkara sengketa wakaf. Wakaf dalam Kamus Istilah Fiqih adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat. Wakaf menurut hukum Islam dapat juga berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun berupa badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syari’at Islam karena berhubungan dengan masyarakat  islam maka peradilan agama berhak dan berwenang dalam menyelesaikan segala permasalahan yang timbul dari wakaf ini. sesuai putusan nomor 1562/Pdt.G/2013/PAJU  tentang sengketa wakaf maka penulis akan membahass mengenai permasalahan sengketa wakaf ini dengan analisis permasalahannya baik menurut kompetensi peradilan agama, asasnya , maupun ratio recidenti hakim dalam menjetuhkan amar putusan dari sengketa tersebut.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah analisis kompetensi mengenai putusan nomor 1562/Pdt.G/2013/PAJU?
2. Apakah Asas yang terdapat dalam putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU?
3. Bagaimanakah Pertimbangan Hakim mengenai putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan?
4. Bagaimanakah Analisis  pendapat penulis dari Putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan Memahami analisis kompetensi mengenai putusan nomor 1562/Pdt.G/2013/PAJU.
2. Mengetahui dan Memahami Asas yang terdapat dalam putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU.
3. Mengetahui dan Memahami Pertimbangan Hakim mengenai putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan
4. Mengetahui dan Memahami serta memberikan informasi kepada mahasiswa Bagaimanakah Analisis  pendapat penulis dari Putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU









BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Analisis kompetensi mengenai putusan nomor 1562/Pdt.G/2013/PAJU
Kompetensi Absolut Peradilan Agama
Prof. DR. Soedikno Mertokusumo, SH, didalam bukunya : HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA menjelaskan kompetensi absolut atau kewenangan mutlak pengadilan yaitu wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan dalam lingkungan pengadilan lain. Kompetensi absolut atau kewenangan mutlak ini memberi jawaban atas pertanyaan : apakah peradilan tertentu itu pada umumnya berwenang memeriksa jenis perkara tertentu yang diajukan kepadanya dan bukan wewenang pengadilan yang lain. Kompetensi absolut /wewenang mutlak disebut juga artibusi kekuasaan kehakiman[1]
Dengan kata lain yang dimaksud dengan kompetensi absolut  adalah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya : Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum[2]
Batas-batas kewenangan mengadili antar lingkungan Peradilan tersebutlah yang dimaksud dengan “kompetensi absolut”. Artinya apa yang telah ditegaskan menjadi porsi setiap lingkungan peradilan, secara “mutlak” menjadi kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perkaranya. Lingkungan peradilan lain secara mutlak tidak berwenang untuk mengadilinya[3]
Kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama diatur dalam Pasal 2  Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah perkaranya. Lingkungan peradilan lain secara mutlak tidak berwenang untuk mengadilinya[4] Kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama diatur dalam Pasal 2  Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dimana dibangun atas azaz Personalitas Keislaman, yang mana dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006, yaitu bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah.
Dalam hal ini penulis akan menganalisis mengenai wakaf. dalam  Putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU tentang sengketa wakaf pengadilan agama berhak mengadili karena para pihak yang bersengketa adalah orang islam dengan orang islam, yangmana dalam duduk perkaranya objek dari sengketa berada pada wilayah jakarta Utara sehingga pengadilan jakarta utara yang berhak mengadili sengeketa wakaf tersebut. artinya kewenangan mutlak hanya pada wilayah kewenangan tersebut (kompetensinya ). dan kompetensi absolut ini adalah kompetensi dari pengadilan agama karena perkara dalam Putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU mengenai perkara perdata tertentu( perdata khusus) yangmana perkara tersebut adalah perkara orang yang beragama islam. jadi kompetensi absolutnya adalah pengadilan agama jakarta utara.


B. Kompetensi Relatif
Kewenangan relatif atau kewenangan nisbi adalah untuk menjawab pertanyaan kepada pengadilan dimanakah gugatan atau tuntutan harus diajukan. Kekuasan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya[5]
Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Negeri. Atau dengan kata lain Pengadilan Negeri mana yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Pengertian lain dari kewenangan relatif adalah kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan.
Dari pengertian di atas maka pengertian kewenangan relatif adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara. Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau Pasal 142 RB.g. jo. Pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedang wewenang absolut berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989
Dalam pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa acara yang berlaku pada lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum. Oleh karena itu, landasan untuk menentukan kewenangan relatif pengadilan agama merujuk kepada ketentuan pasal 118 HIR atau pasal 142 R. Bg.jo. pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif  ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke pengadilan agama mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat (1) HIR. Menganut asas bahwa yang berwenang adalah pengadilan ditempat kediaman tergugat. Asas ini dalam bahasa latin disebut “ actor sequitur forum rei” , namun ada beberapa pengecualian yaitu yang tercantum dalam pasal 118 ayat (2),ayat (3) dan ayat (4), yaitu :
-   Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari tergugat.
-   Apabila ada tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat tinggal penggugat.
-   Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada peradilan diwilayah hukum dimana barang tersebut terletak.
-  Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang diplih dalam akta tersebut.

 C. Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Wakaf DALAM PUTUSAN 1562/Pdt.G/2013/PAJU
Pasal 1 ayat(1) PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik menentukan pengertian tentang wakaf. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-selamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam. Wakaf ini sangat penting ditinjau dari sudutpelembagaan keagamaan. PP No.28 Tahun 1977 merupakan peraturan perwakafan dalam ajaran islam yang telah menjadi hukum positif dan pengaturannya memiliki cakupan yang lengkap. Namun demikian, permasalahan wakaf juga semakin kompleks, seiring dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. oleh karena itu, jika ada perselisihan tentang perwakafan tanah milik, maka penyelesaiannya dapat diajukan kepada pengadilan agama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[6]
DALAM PUTUSAN NOMOR 1562/Pdt.G/2013/PAJU penyelesaian sengketa wakaf diajukan dalam pengadilan agama karena sengekta wakaf ini merupakan kewenangan dari pengadilan agama selain para pihaknya adalah orang islam gugatan dalam perkara ini jumlah tergugat lebih dari satu sehingga gugatan dilakukan dalam wilayah peradilan agama jakarta utara , dan objek dari sengketa adalah barang tidak bergerak sehingga gugatan diajukan kepada peradilan diwilayah hukum dimana barang tersebut terletak.

2.2  Asas Peradilan Agama
Dalam m putusan Putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU menggunakan
1.      Asas Personalitas Ke-islaman,
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. artinya bahwa para pihak dalam perkara yang diajaukan di pengadilan agama tentang sengketa wakaf ini  adalah orang islam, jadi para pihak harus tunduk sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan peradilan agama.
2.      Asas Ishlah (Upaya Perdasmaian)
Artinya bahwa dalam sengketa ini hakim telah menawarkan upaya damai antara kedua belah pihak namun hal tersebut gagal dicapai sehingga perkara ini tetap dilanjutkan untuk diperiksa hingga sampai pada putusan.
3.      Asas bebas merdeka
artinya dalam perkara ini  tidak ada intervensi ataupun campur tangan dari pihak lain dalam mengadili perkara ini
4.      asas sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
artinya bahwa  dalam penyelesaian perkara sengketa wakaf ini pengadilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman untuk memeriksa, memutus dan mengadili.
5.      Asas Sederhana , cepat ,biaya ringan
artinya  sederhana prosedurnya tidak rumit, cepat dalah mengenai waktu pelaksanaannya yangmana dalam putusan ini terlihat karena ketidakhadiran tergugat maka diputuslah putusan verstek.
6.      asas persidangan terbuka untuk umum
artinya dalam pemeriksaan dapat dibuka untuk umum
7.      Asas Legalitas
Artinya bahwa dalam penyelesaian sengketa ini sesuai dengan aturan yang berlaku
namun dalam putusan ini karena perkara ini terdapat persengketaan yang berakibat pihak penggugat mengajukan gugatannya maka berlakulah asas Forum rei sitae dalam pasal 118 HIR yangmana dalam asas tersebut disebutkan apabila gugataan tersebut objeknya benda tidak bergerak maka gugatan diajukan dalam wilayah dimana objek tersebut berada yaitu wilayah pengadilan agama Jakarta Utara

2.3  Ratio Recidendi dalam putusan

 dalam akta IKRAR WAKAF dan SURAT PENGESAHAN NADZIR Nomor: w5/430/26 Tahun 2010 tertanggal 11 Oktober 2010 yang dikeluarkan oleh PPAIW Kecamatan - Jakarta Utara. pihak tergugat Tergugat telah mewakafkan sebagian dari tanah  milik Penggugat tersebut yakni seluas 60 M2in casu dengan cara mewakafkannya tanpa sepengetahuan dari pihak penggugat didasarkan kepada surat pernyataan AYAH PENGGUGAT tertanggal 27 Januari 1985(bukti P.12) ternyata tanda tangan yang bersangkutan( AYAH PENGGUGAT) dalam surat tersebut berbeda dengan tanda tangan yang ada dalam fotokopi Kartu
Tanda penduduknya. hal tersebut diperkuat dengan keterangan saksi-saksi dan pihak tergugat tidak memberikan jawaban padahal telah dipanggil oleh pengadilan agama.
dan syarat sebagai wakif adalah
a. Dewasa;
b. Barakal sehat;
c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;dan
d. Pemilik sah harta benda wakaf
sedangkan tergugat bukan sebagai pemilik yang sah tanah wakaf tersebut.bahwa dengan tidak terpenuhinya syarat sebagai wakif bagi
Tergugat maka tindakan Tergugat mewakafkan sebagian tanah milik Penggugat tersebut batal demi hukum, oleh karena itu surat AKTA IKRAR WAKAF dan SURAT PENGESAHAN NADZIR Nomor: w5/430/26 Tahun 2010 tertanggal 11 Oktober 2010 yang dikeluarkan oleh PPAIW Kecamatan - Jakarta Utara dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. dalam pasal 17 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor; 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang Undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dikemukakan; Hak atas tanah yang diwakafkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimiliki atau dikuasai oleh wakif sacara sah serta bebas dari segala sitaan, perkara,sengketa dan tidak dijaminkan

2.4 Argumentasi Penulis
dalam ratio recidenti hakim , penulis setuju dengan  pertimabangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan karena berdasar pada Undang Undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dikemukakan; Hak atas tanah yang diwakafkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimiliki atau dikuasai oleh wakif sacara sah serta bebas dari segala sitaan, perkara,sengketa dan tidak dijaminkan dan dalam perkara diatas pihak yang mewakafkan tanah tersebut bukan penggugat namun pihak tergugat yangmana pihak tergugat tidak memenuhi syarat sebagai wakif yang termuat dalam syarat sebagai wakif adalah
a. Dewasa
b. Barakal sehat;
c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;dan
d. Pemilik sah harta benda wakaf.
dalam hal ini pihak tergugat tidak memenuhi unsur sebagai wakif yang termuat dalam huruf c yaitu pemilik sah harta benda wakaf , didalam persngketaan ini pihak penggugat yang dapat membuktikan bahwa wakif yang sah adalah pengguigat karena merupakan ahli waris dari ayah penggugat dan telah memiliki surat tanda kepemilikan bagi hasil yang diberikan oleh ayah penggugat , dan dalam dalilnya pihak tergugat mendapatkan ijin dari ayah penggugat berdasar pada akta ikrar wakaf  yang diberikan oleh ayah penggugat , namun penggugat selama ayah masih hidup tidak mengetahui bahwa benar ayah dari penggugat telah mewakafkan tanah sebesar 60m2 , karena merasa tidak mengetahuinya maka wajarlah sebagai pihak penggugat merasa telah terjadi kejanggalan dalam akta ikrar wakaf yangmana dalam akta ikrar wakaf tersebut telah ada tanda tangan dari ayah penggugat yang dikeatahui bahwa tanda tangan tersebut berbeda dengan tanda tangan yaang ada dalam kartu tanda penduduk ayah penggugat , dan berdasar keterangan saksi-saksi bahwa tanda tangan yang ada pada akta tersebut berbeda dengan aslinya dan bahwa benar tanda tangan yang asli adalah yang ada di kartu tanda penduduk ayah penggugat , maka berdasar bukti tersebut maka dapat dijadikan dasar bahwa akta ikrar wakaf tersebut telah batal demi hukum .










[1] Soedikno Mertokusumo, sebagaimana dikutip oleh Muchinum,Komptensi Peradilan Agama Relatif dan Absolut dalam Kapita Selekta Hukum Perdata Agama dan Penerapannya, (Bogor; Pusdiklat Teknis  Bailtbang Diklat Kumdil MARI, 2008), hal 127.

[2]  Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama  (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2006), hal 27
[3] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama(Jakarta; Sinar Grafika, 2007), hal 138.
[4] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama(Jakarta; Sinar Grafika, 2007), hal 138.
[5] Roihan A Rasyid, Op.Cit, hal 25.

[6] Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di indonesia, (Jakarta: Kencana,2005), h.101