BAB
I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang
Peradilan
Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara
orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang.
dalam eksistensinya peradilan agama mempunyai kewenangan untuk perkara tertentu
bagi orang islam , salah satu perkara yang akan dibahas oleh penulis adalah
perkara sengketa wakaf. Wakaf dalam
Kamus Istilah Fiqih adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu
badan yang memberi manfaat bagi masyarakat. Wakaf menurut hukum Islam dapat
juga berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada
seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun berupa
badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk
hal-hal yang sesuai dengan syari’at Islam karena berhubungan dengan
masyarakat islam maka peradilan agama
berhak dan berwenang dalam menyelesaikan segala permasalahan yang timbul dari
wakaf ini. sesuai putusan nomor 1562/Pdt.G/2013/PAJU tentang sengketa wakaf maka penulis akan
membahass mengenai permasalahan sengketa wakaf ini dengan analisis
permasalahannya baik menurut kompetensi peradilan agama, asasnya , maupun ratio
recidenti hakim dalam menjetuhkan amar putusan dari sengketa tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah analisis kompetensi mengenai putusan nomor 1562/Pdt.G/2013/PAJU?
2.
Apakah Asas yang terdapat dalam putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU?
3.
Bagaimanakah Pertimbangan Hakim mengenai putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU
sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan?
4.
Bagaimanakah Analisis pendapat penulis
dari Putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui dan Memahami analisis kompetensi mengenai putusan nomor 1562/Pdt.G/2013/PAJU.
2.
Mengetahui dan Memahami Asas yang terdapat dalam putusan Nomor:
1562/Pdt.G/2013/PAJU.
3.
Mengetahui dan Memahami Pertimbangan Hakim mengenai putusan Nomor:
1562/Pdt.G/2013/PAJU sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan
4.
Mengetahui dan Memahami serta memberikan informasi kepada mahasiswa
Bagaimanakah Analisis pendapat penulis
dari Putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Analisis kompetensi mengenai
putusan nomor 1562/Pdt.G/2013/PAJU
Kompetensi
Absolut Peradilan Agama
Prof. DR.
Soedikno Mertokusumo, SH, didalam bukunya : HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA
menjelaskan kompetensi absolut atau kewenangan mutlak pengadilan yaitu wewenang
badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak
dapat diperiksa oleh badan pengadilan dalam lingkungan pengadilan lain.
Kompetensi absolut atau kewenangan mutlak ini memberi jawaban atas pertanyaan :
apakah peradilan tertentu itu pada umumnya berwenang memeriksa jenis perkara
tertentu yang diajukan kepadanya dan bukan wewenang pengadilan yang lain.
Kompetensi absolut /wewenang mutlak disebut juga artibusi kekuasaan kehakiman[1]
Dengan kata
lain yang dimaksud dengan kompetensi absolut adalah kekuasaan pengadilan
yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau
tingkatan pengadilan lainnya, misalnya : Pengadilan Agama berkuasa atas perkara
perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam
menjadi kekuasaan Peradilan Umum[2]
Batas-batas
kewenangan mengadili antar lingkungan Peradilan tersebutlah yang dimaksud
dengan “kompetensi absolut”. Artinya apa yang telah ditegaskan menjadi porsi
setiap lingkungan peradilan, secara “mutlak” menjadi kewenangannya untuk
memeriksa dan memutus perkaranya. Lingkungan peradilan lain secara mutlak tidak
berwenang untuk mengadilinya[3]
Kompetensi
absolut pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama diatur dalam Pasal 2
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah perkaranya. Lingkungan
peradilan lain secara mutlak tidak berwenang untuk mengadilinya[4]
Kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama diatur dalam
Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dimana dibangun atas azaz Personalitas
Keislaman, yang mana dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakah
salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu yang diatur dalam
Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006, yaitu bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah.
Dalam hal ini penulis akan menganalisis
mengenai wakaf. dalam Putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU
tentang sengketa wakaf pengadilan agama berhak mengadili karena para pihak yang
bersengketa adalah orang islam dengan orang islam, yangmana dalam duduk
perkaranya objek dari sengketa berada pada wilayah jakarta Utara sehingga
pengadilan jakarta utara yang berhak mengadili sengeketa wakaf tersebut.
artinya kewenangan mutlak hanya pada wilayah kewenangan tersebut (kompetensinya
). dan kompetensi absolut ini adalah kompetensi dari pengadilan agama karena
perkara dalam Putusan Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU mengenai perkara perdata
tertentu( perdata khusus) yangmana perkara tersebut adalah perkara orang yang
beragama islam. jadi kompetensi absolutnya adalah pengadilan agama jakarta
utara.
B.
Kompetensi Relatif
Kewenangan
relatif atau kewenangan nisbi adalah untuk menjawab pertanyaan kepada
pengadilan dimanakah gugatan atau tuntutan harus diajukan. Kekuasan relatif
diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan,
dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama
tingkatan lainnya[5]
Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative
competentie) adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili antar
Pengadilan Negeri. Atau dengan kata lain Pengadilan Negeri mana yang berwenang
memeriksa dan memutus perkara. Pengertian lain dari kewenangan relatif adalah
kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya
dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan.
Dari pengertian di atas maka pengertian kewenangan relatif
adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam
lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan
wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat kediaman atau
domisili pihak yang berperkara. Wewenang relatif
Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau Pasal 142 RB.g. jo. Pasal 66
dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedang wewenang
absolut berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989
Dalam pasal
54 UU No. 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa acara yang berlaku pada lingkungan
peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan
peradilan umum. Oleh karena itu, landasan untuk menentukan kewenangan
relatif pengadilan agama merujuk kepada ketentuan pasal 118 HIR atau pasal 142
R. Bg.jo. pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 tahun 1989. Penentuan kompetensi
relatif ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke pengadilan
agama mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat
(1) HIR. Menganut asas bahwa yang berwenang adalah pengadilan ditempat kediaman
tergugat. Asas ini dalam bahasa latin disebut “ actor sequitur forum
rei” , namun ada beberapa pengecualian yaitu yang tercantum dalam
pasal 118 ayat (2),ayat (3) dan ayat (4), yaitu :
- Apabila
tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari tergugat.
-
Apabila ada tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan ditempat tinggal penggugat.
- Apabila
gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada peradilan
diwilayah hukum dimana barang tersebut terletak.
- Apabila
ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan dapat diajukan
kepada pengadilan tempat tinggal yang diplih dalam akta tersebut.
C. Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Wakaf DALAM PUTUSAN 1562/Pdt.G/2013/PAJU
Pasal
1 ayat(1) PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik menentukan
pengertian tentang wakaf. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaan yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-selamanya untuk kepentingan peribadatan atau
kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam. Wakaf ini sangat
penting ditinjau dari sudutpelembagaan keagamaan. PP No.28 Tahun 1977 merupakan
peraturan perwakafan dalam ajaran islam yang telah menjadi hukum positif dan
pengaturannya memiliki cakupan yang lengkap. Namun demikian, permasalahan wakaf
juga semakin kompleks, seiring dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat.
oleh karena itu, jika ada perselisihan tentang perwakafan tanah milik, maka
penyelesaiannya dapat diajukan kepada pengadilan agama sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.[6]
DALAM
PUTUSAN NOMOR 1562/Pdt.G/2013/PAJU penyelesaian sengketa wakaf diajukan dalam
pengadilan agama karena sengekta wakaf ini merupakan kewenangan dari pengadilan
agama selain para pihaknya adalah orang islam gugatan dalam perkara ini jumlah
tergugat lebih dari satu sehingga gugatan dilakukan dalam wilayah peradilan
agama jakarta utara , dan objek dari sengketa adalah barang tidak bergerak
sehingga gugatan diajukan kepada peradilan diwilayah hukum dimana barang tersebut
terletak.
2.2 Asas Peradilan Agama
Dalam m
putusan Putusan
Nomor: 1562/Pdt.G/2013/PAJU menggunakan
1.
Asas Personalitas
Ke-islaman,
Yang tunduk dan yang dapat
ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya
beragama Islam. artinya bahwa para pihak dalam perkara yang diajaukan di
pengadilan agama tentang sengketa wakaf ini adalah orang islam, jadi para
pihak harus tunduk sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan
peradilan agama.
2.
Asas Ishlah (Upaya Perdasmaian)
Artinya
bahwa dalam sengketa ini hakim telah menawarkan upaya damai antara kedua belah
pihak namun hal tersebut gagal dicapai sehingga perkara ini tetap dilanjutkan
untuk diperiksa hingga sampai pada putusan.
3.
Asas bebas merdeka
artinya
dalam perkara ini tidak ada intervensi
ataupun campur tangan dari pihak lain dalam mengadili perkara ini
4.
asas sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
artinya
bahwa dalam penyelesaian perkara
sengketa wakaf ini pengadilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman untuk
memeriksa, memutus dan mengadili.
5.
Asas Sederhana , cepat ,biaya ringan
artinya sederhana prosedurnya tidak rumit, cepat
dalah mengenai waktu pelaksanaannya yangmana dalam putusan ini terlihat karena
ketidakhadiran tergugat maka diputuslah putusan verstek.
6.
asas persidangan terbuka untuk umum
artinya
dalam pemeriksaan dapat dibuka untuk umum
7.
Asas Legalitas
Artinya
bahwa dalam penyelesaian sengketa ini sesuai dengan aturan yang berlaku
namun dalam
putusan ini karena perkara ini terdapat persengketaan yang berakibat pihak
penggugat mengajukan gugatannya maka berlakulah asas Forum rei sitae dalam
pasal 118 HIR yangmana dalam asas tersebut disebutkan apabila gugataan tersebut
objeknya benda tidak bergerak maka gugatan diajukan dalam wilayah dimana objek
tersebut berada yaitu wilayah pengadilan agama Jakarta Utara
2.3 Ratio Recidendi dalam putusan
dalam akta IKRAR WAKAF dan SURAT PENGESAHAN
NADZIR Nomor: w5/430/26 Tahun 2010 tertanggal 11 Oktober 2010 yang dikeluarkan
oleh PPAIW Kecamatan - Jakarta Utara. pihak tergugat Tergugat telah mewakafkan
sebagian dari tanah milik Penggugat
tersebut yakni seluas 60 M2in casu dengan cara mewakafkannya tanpa
sepengetahuan dari pihak penggugat didasarkan kepada surat pernyataan AYAH
PENGGUGAT tertanggal 27 Januari 1985(bukti P.12) ternyata tanda tangan yang
bersangkutan( AYAH PENGGUGAT) dalam surat tersebut berbeda dengan tanda tangan
yang ada dalam fotokopi Kartu
Tanda
penduduknya. hal tersebut diperkuat dengan keterangan saksi-saksi dan pihak
tergugat tidak memberikan jawaban padahal telah dipanggil oleh pengadilan
agama.
dan syarat sebagai wakif adalah
a. Dewasa;
b. Barakal sehat;
c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;dan
d.
Pemilik sah harta benda wakaf
sedangkan
tergugat bukan sebagai pemilik yang sah tanah wakaf tersebut.bahwa dengan tidak
terpenuhinya syarat sebagai wakif bagi
Tergugat maka tindakan Tergugat mewakafkan sebagian
tanah milik Penggugat tersebut batal demi hukum, oleh karena itu surat AKTA
IKRAR WAKAF dan SURAT PENGESAHAN NADZIR Nomor: w5/430/26 Tahun 2010 tertanggal
11 Oktober 2010 yang dikeluarkan oleh PPAIW Kecamatan - Jakarta Utara dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum. dalam pasal 17 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor; 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang Undang No.41
Tahun 2004 Tentang Wakaf dikemukakan; Hak atas tanah yang diwakafkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dimiliki atau dikuasai oleh wakif sacara sah serta
bebas dari segala sitaan, perkara,sengketa dan tidak dijaminkan
2.4
Argumentasi Penulis
dalam ratio recidenti hakim , penulis
setuju dengan pertimabangan hukum hakim
dalam menjatuhkan putusan karena berdasar pada Undang Undang No.41 Tahun 2004
Tentang Wakaf dikemukakan; Hak atas tanah yang diwakafkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dimiliki atau dikuasai oleh wakif sacara sah serta bebas
dari segala sitaan, perkara,sengketa dan tidak dijaminkan dan dalam perkara
diatas pihak yang mewakafkan tanah tersebut bukan penggugat namun pihak
tergugat yangmana pihak tergugat tidak memenuhi syarat sebagai wakif yang
termuat dalam syarat sebagai wakif adalah
a. Dewasa
b. Barakal sehat;
c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;dan
d. Pemilik sah harta benda wakaf.
dalam hal ini pihak tergugat tidak memenuhi unsur
sebagai wakif yang termuat dalam huruf c yaitu pemilik sah harta benda wakaf ,
didalam persngketaan ini pihak penggugat yang dapat membuktikan bahwa wakif
yang sah adalah pengguigat karena merupakan ahli waris dari ayah penggugat dan
telah memiliki surat tanda kepemilikan bagi hasil yang diberikan oleh ayah
penggugat , dan dalam dalilnya pihak tergugat mendapatkan ijin dari ayah penggugat
berdasar pada akta ikrar wakaf yang
diberikan oleh ayah penggugat , namun penggugat selama ayah masih hidup tidak
mengetahui bahwa benar ayah dari penggugat telah mewakafkan tanah sebesar 60m2
, karena merasa tidak mengetahuinya maka wajarlah sebagai pihak penggugat
merasa telah terjadi kejanggalan dalam akta ikrar wakaf yangmana dalam akta
ikrar wakaf tersebut telah ada tanda tangan dari ayah penggugat yang dikeatahui
bahwa tanda tangan tersebut berbeda dengan tanda tangan yaang ada dalam kartu
tanda penduduk ayah penggugat , dan berdasar keterangan saksi-saksi bahwa tanda
tangan yang ada pada akta tersebut berbeda dengan aslinya dan bahwa benar tanda
tangan yang asli adalah yang ada di kartu tanda penduduk ayah penggugat , maka
berdasar bukti tersebut maka dapat dijadikan dasar bahwa akta ikrar wakaf
tersebut telah batal demi hukum .
[1] Soedikno Mertokusumo, sebagaimana dikutip oleh
Muchinum,Komptensi Peradilan
Agama Relatif dan Absolut dalam Kapita Selekta Hukum Perdata Agama dan
Penerapannya, (Bogor; Pusdiklat Teknis Bailtbang Diklat
Kumdil MARI, 2008), hal 127.
[3] Yahya Harahap, Kedudukan
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama(Jakarta; Sinar Grafika, 2007),
hal 138.
[4] Yahya
Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara
Peradilan Agama(Jakarta; Sinar Grafika, 2007), hal 138.
[5] Roihan
A Rasyid, Op.Cit, hal 25.
[6] Sulaikin
Lubis, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama di indonesia,
(Jakarta: Kencana,2005), h.101